Pengalaman Sebagai Pasien Covid-19
Rasanya baru saja saya ‘curhat’ ke beberapa teman betapa menyeramkannya virus Covid-19 yang terasa semakin mendekat. Beberapa orang yang saya kenal diketahui positif Covid-19. Entah itu firasat atau apa, namun beberapa hari kemudian virus Covid-19 sudah ada di tubuh saya, suami, adik bahkan ayah saya yang sudah berusia lanjut.
Hasil PCR test, saya, suami, adik perempuan dan ayah dinyatakan positif, sementara ibu, adik lelaki dan kakak lelaki dinyatakan negatif. Setiap orang yang kami kabari, pasti bertanya-tanya, mengapa bisa? Kami pun sejujurnya bingung darimana mulanya virus ini bisa masuk ke tubuh kami. Sempat terpikir beberapa kecurigaan, tapi rasanya justru melelahkan hati. Jadi kami ikhlas menerimanya sebagai bagian dari takdir saja.
Saya, suami dan adik hanya merasakan gejala ringan yaitu tidak bisa mencium aroma apapun dan lidah tidak dapat merasakan makanan. Oleh karena itu kami diizinkan untuk melakukan isolasi mandiri di rumah dengan protokol ketat dan pemantauan dokter dari balai kesehatan. Sementara ayah saya, karena ada demam dan sudah berusia hampir 70 tahun harus diisolasi di rumah sakit, agar lebih mudah dipantau.
Menurut peraturan, kami harus melakukan isolasi mandiri selama 14 hari. Kami tidak boleh keluar rumah dan bertemu dengan orang lain. Kami juga diharuskan memakai masker medis di rumah.
Hari pertama isolasi kami merasa aneh, rumah mendadak sangat sepi. Kami masih sedih, shock, bingung. Pada saat itu tetangga belum tahu. Jadi kami bingung mau minta bantuan untuk membeli keperluan dan bahan makanan.
Hari kedua kami mulai mengabarkan kepada pengurus tetangga, dan syukurlah akhirnya bala bantuan mulai berdatangan. Ada yang membantu mengambil vitamin dan obat di balai kesehatan, membeli berbagai kebutuhan sehari-hari, dan banyak juga yang mengirimkan makanan.
Setiap hari rutinitas kami, berjemur selama 15 menit sambil olahraga ringan pada pukul 9 pagi. Minum vitamin, madu dan berbagai ramuan herbal untuk immune booster selalu kami lakoni. Makan sayur dan buah-buahan pun jadi jauh lebih banyak daripada biasanya.
Saya akui, virus ini tak hanya menyerang fisik tapi juga mental. Tiap kali saya overthinking atau stress, maka gejala-gejala seperti sesak nafas, demam, akan muncul. Jadi sebisa mungkin saya dan keluarga saling menyemangati, termasuk dengan ayah yang di rumah sakit. Setiap hari bisa 5 kali kami video call. Kami tidak ingin ayah merasa sendirian.
Hari ketiga sampai dengan hari keempat belas kami isolasi jadi jauh lebih ringan karena banyak yang membantu, memberi support, menyemangati. Kami sangat bersyukur untuk segala kebaikan dan kemudahan yang kami terima.
Setelah 14 hari, masa isolasi pun akhirnya selesai. Kami semua sudah dinyatakan sehat oleh dokter. Kami juga sudah tidak ada keluhan. Hasil pemeriksaan ayah pun semuanya baik. Kami dapat berkumpul kembali di rumah dalam keadaan sehat. Alhamdulillah.
Pengalaman menjadi penyintas Covid-19 ini membuat saya lebih menghargai kebersamaan dengan orang-orang tersayang, pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan, serta lebih bisa berempati kepada orang-orang yang dinyatakan positif juga.
Untuk teman-teman yang sedang berjuang melawan Covid-19, tetap semangat dan yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dan untuk kita semua, patuhi semua protokol kesehatan yang dianjurkan. Jaga jarak, pakai masker, jaga daya tahan tubuh dengan makan makanan yang bergizi. Karena terlepas ia konspirasi atau bukan, virus ini nyata ada.