Stay Hungry, Stay Foolish
Pendidikan seyogianya menjadikan kita manusia yang utuh. Salah satunya dengan menumbuhkan rasa ingin tahu. Dengan terbukanya informasi melalui kemajuan teknologi memungkinkan kita untuk mengetahui berbagai macam konten.
Maka kuncinya adalah untuk senantiasa “lapar” akan pengetahuan. Steve Jobs pernah menekankan pentingnya untuk “stay hungry, stay foolish”. Telahkah kita “stay hungry, stay foolish”? Atau kita terjebak dengan perasaan menjadi yang tahu segala dan serba tahu?

Lihatlah betapa “dahaganya” anak akan mengeksplorasi segala sesuatu. Segala macam bisa menjadi mainannya, segala macam dieksplorasinya. Anak yang ingin tahu tentang ini-itu, mengutak-atik ini-itu.
Dengan bertebarannya konten, maka belajar bisa dilakukan kapan saja, dimana saja. Kita pun dapat berguru kepada para expert yang muatan kontennya bertebaran.
Dengan belajar, kita pun berkaca untuk senantiasa relevan dengan keadaan. Adaptasi dan modifikasi bisa dilakukan untuk tetap relevan dengan era.
Bersinergi dan berkolaborasi pun dapat memelihara sikap “stay hungry, stay foolish ini. Ada begitu banyak ragam pengetahuan yang dapat direguk. Contohnya dalam penulisan, kita bisa melihat point of view, kemampuan menata ide, dari rekan kolaborasi. Contoh lainnya dalam musik, betapa corak-corak nada, teknik bermusik, referensi, memungkinkan lebih kaya dalam karya.
“Stay hungry, stay foolish juga memungkinkan kita untuk tidak bagaikan katak dalam tempurung. Kita melihat dunia dengan cara positif, bahwa ada begitu banyak ilmu dengan segala cabangnya.
“Stay hungry, stay foolish juga memungkinkan kita untuk mengembangkan lini kompetensi baru. Coba lihat teman-teman dekat Anda, ada banyak dan beragamnya kemampuan yang mereka miliki. Tidakkah Anda tertarik untuk menimba ilmu dari mereka sebagai pengayaan kapasitas Anda?
Dengan demikian belajar sepanjang hayat tak sekadar slogan, tapi terimplementasikan.