Versi Lebih Baik Diri
Suatu waktu saya melakukan liputan dimana narasumbernya adalah salah satu pejabat di Kementerian. Dia bercerita berhenti merokok karena anak. Anaknya “menegur” sang ayah karena merokok, padahal menurut pembelajaran di TK si anak, rokok tidak baik. Sang ayah mengenang memorinya kala itu, yang menjadi titik balik dirinya berhenti merokok.
Saya pun teringat dengan bapak saya. Dikarenakan kelahiran saya, bapak saya memutuskan untuk berhenti merokok.
Versi lebih baik diri karena anak, saya pikir itu dapat terjadi. Bagaimana anak mampu menembus tabiat buruk atau kurang baik dari orang tuanya. Bagaimana orang tua belajar dan berubah menjadi better karena anak.
Bagaimana dengan Anda? Apakah ada perbaikan yang Anda lakukan karena kehadiran anak?
Suatu waktu saya menonton Webseries “SORE” dari Tropicana Slim. Tokoh utama dalam kisah tersebut yakni Jonathan atau Jo (Dion Wiyoko) dan Sore (Tika Bravani).
Jika disarikan dalam kalimat pendek, webseries tersebut dapat disimpulkan begini: Apa yang akan kamu lakukan jika pasangan kamu datang dari masa depan?
Ternyata webseries tersebut menyimpan “bawang bombai” tersendiri. Tentu ada pesan sponsor (yang begitu relevan dan kontekstual dengan cerita). Jo dikisahkan mati muda karena pola hidup yang tidak sehat (di antaranya konsumsi gula berlebih). Lalu meninggalkan Sore sebagai janda dengan anak mereka yang masih belia.
Sebagai seorang bapak, pesan dari webseries tersebut begitu menghunjam. Bagaimana kalau saya 11, 12 dengan Jo yang menerapkan pola hidup tidak sehat (konsumsi gula berlebih, kurang olahraga). Bagaimana efek dari pola hidup tak baik itu, tak hanya berimbas pada saya, tapi juga orang lain, yakni istri dan anak saya.
Versi lebih baik dari diri selalu bisa terjadi. Mungkin motivasi awal dan utamanya, justru bukan karena diri sendiri, tapi karena orang-orang lain. Bisa jadi keluarga. Mari sama-sama memperjuangkan versi lebih baik dari diri.