Seni Mengambil Keputusan
Jika Anda tidak membuat keputusan untuk diri sendiri, maka orang lain yang akan memilihkan keputusan itu untuk Anda. Mengambil keputusan, menentukan pilihan, merupakan keterampilan yang harus diasah di “lapangan nyata”. Keterampilan yang tidak sekadar dibicarakan, diangankan, tapi harus dicoba. Bisa jadi ada kesalahan, tapi kesalahan juga merupakan pembelajaran.
Saya ingat ketika dulu mengambil jurusan kuliah di universitas, saya memilih sendiri. Saya memproyeksikan tentang kemampuan, minat, bakat, yang saya punya. Tentu mengambil jurusan kuliah menjadi penting dan genting. Ada berapa banyak orang yang salah mengambil jurusan, “salah nyemplung”. Hal itu bisa jadi dikarenakan ada yang mengambilkan keputusan untuknya, entah itu orang tua, guru, dan sosok lainnya.
Dan celakanya jika merunut kalimat budayawan Butet Kartaredjasa berikut layak menjadi perenungan: “Anak sebagai keranjang sampah ambisi-ambisi orang tua yang tidak terwujudkan”.
Maka menarik adanya pembelajaran parenting yang saya dan istri ikuti, dimana salah satu skill yang diajarkan yakni tentang mengambil keputusan. Anak perlu dilatih, dibiasakan, untuk mengambil keputusan sejak dini, sejak kecil.
Contohnya ketika akan mandi, berikan pilihan, apakah anak mau mandi dengan menggunakan gayung atau shower. Biarkan anak memilih, dan kita lakukan keputusan anak. Maka semenjak dini, anak telah dibiasakan, dilatih untuk mengerti tentang tanggung jawab, serta konsekuensi keputusan. Dari hal-hal yang terlihat sederhana, anak dapat terus dibiasakan menentukan pilihannya.
Maka ketika anak saya dengan lantang berkata “tidak”. Ada kegembiraan yang menyusup di diri. Ia telah tahu apa yang diinginkan dan tidak diinginkannya. Tentu seiring waktu hal ini harus terus dilatih dan dibiasakan (termasuk orang tuanya juga yang belajar).
Selama hidup, selama sekian waktu, mengambil keputusan akan senantiasa perlu diperlukan. Ada risiko dari keputusan yang diambil, di antaranya opportunity cost.