Connecting before Correcting
Dalam kelas parenting beberapa waktu lalu saya dan suami diminta untuk role playing anak yang sedang dimarahi oleh orang tuanya. Saya berperan sebagai anak, dan suami berperan sebagai orang tua. Saya diminta dalam posisi duduk di bawah, sedangkan suami berdiri sambil marah-marah dengan suara lantang.
Setelah itu kami diminta menceritakan apa yang kami rasakan setelah role playing. Dari sisi saya yang memerankan anak, saya merasa takut dan merasa tidak berdaya (powerless). Sedangkan bagi suami yang berperan memarahi, ia merasa berkuasa.
Peserta yang lain kurang lebih juga mengungkapkan hal yang sama. Merasa tertekan, terancam, tidak disayang dan lain sebagainya. Kira-kira seperti itulah yang dirasakan anak apabila orang tua memarahi mereka.
Sebagai manusia biasa, adalah hal yang wajar apabila orang tua kesal atau marah apabila ada perilaku anak yang keliru. Tapi karena orang sudah hidup jauh lebih lama dibandingkan anak, sudah selayaknya orang tua yang lebih bisa mengontrol diri.
Dalam kelas parenting tersebut kami diajari untuk lebih dulu observasi perilaku anak, alih-alih langsung bereaksi.
Selanjutnya kami diminta untuk mencari tahu alasan anak melakukan hal tersebut. Dalam bertanya, kami disarankan dalam posisi tubuh sejajar dengan anak, dan selalu pertahankan kontak mata.
Posisi tubuh yang sejajar dan kontak mata ini sangat penting dilakukan. Meskipun Anda sedang kesal, melalui kontak mata, Anda dapat memberikan kesan, “Saya di sini untuk kamu, saya tertarik dengan apa yang kamu katakan, kamu memiliki nilai yang besar bagi saya, saya mencintaimu.”
Connecting before correcting. Sebelum mengkoreksi anak, bangunlah dulu koneksi dengan anak. Pastikan anak merasa tetap terkoneksi dengan Anda. Cara ini sangat bermanfaat untuk menghindari luka batin pada anak.