Lawan Adalah Mitra Pertumbuhan
Bulan lalu saya
menonton fim “Susi Susanti: Love All” Pada film yang disutradarai Sim F, dalam
perjalanan bus dari Tasik menuju Jakarta, Susi Susanti dan papanya, Risad
Haditono berbincang tentang makna ‘Love All’.
Diksi ‘Love All’
diucapkan wasit ketika memulai pertandingan bulu tangkis.
“Pah, kenapa sih kalau
sebelum bertanding bilangnya ‘Love All’, emang artinya apa?” tanya Susi Susanti
muda dalam film tersebut.
Papa Susi pun dengan
arif menjelaskan kepada anaknya yang nantinya menjadi peraih medali emas
Olimpiade Barcelona 1992. “Artinya 0-0, tapi maknanya cinta semua, Love All. Ya maksudnya kita main karena
cinta. Cinta sama pertandingannya, sama penontonnya, sama pelatihnya, dan juga
sama lawannya,” tutur Papa Susi yang diperankan Iszur Muchtar.
“Apalagi sama lawan.
Kita cuma bisa hebat kalau punya lawan yang hebat. Kalau lawan kita payah, kita
enggak kelihatan hebat. Kalau dia hebat dan kita bisa ngalahin, itu berarti kita lebih hebat,” tambahnya.
Dalam hal ini saya
ingin menggarisbawahi tentang ‘Kita cuma bisa hebat kalau punya lawan yang
hebat… Kalau dia hebat dan kita bisa ngalahin,
itu berarti kita lebih hebat’.
Novak Djokovic baru
saja meraih trofi tunggal putra Wimbeldon 2021. Trofi Wimbeldon 2021 ini
merupakan gelar juara Grand Slam ke-20 milik Nole, panggilannya. Dengan torehan
ini, Djokovic menyamai rekor Roger Federer dan Rafael Nadal sebagai petenis
pria dengan koleksi trofi Grand Slam terbanyak.
“Mereka petenis
terpenting dan terberat yang saya pernah hadapi. Karena mereka, saya berada di
sini,” ujar Djokovic seperti dikutip the
Guardian.
Lawan dengan demikian
sesungguhnya dapat memacu diri untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Ibaratnya
Son Goku yang selalu tertantang untuk menghadapi lawan yang tangguh.
Persaingan jika
dimaknai secara positif, dapat memunculkan versi terbaik dari diri, setuju?