Adu Penalti, Statistik dan Beban Psikologis
Final Piala Eropa 2020
memperpanjang catatan suram eksekutor penalti Inggris di turnamen besar. Inggris
kini tercatat hanya tiga kali menang dalam 10 partai yang harus dimainkan
melalui adu penalti. Marcus Rashford, Jadon Sancho, Bukayo Saka menjadi nama
anyar pesakitan bagi tim Tiga Singa di adu penalti.
Ada Southgate yang
gagal dalam semifinal Piala Eropa 1996. Lalu David Beckham dan Darius Vassell
kala berhadapan dengan kiper Portugal, Ricardo, pada perempat final Piala Eropa
2004. Ada juga tiga nama kesohor Frank Lampard, Steven Gerrard, serta Jamie Carragher
yang gagal di Piala Dunia 2006.
Rashford dan Sancho
yang dimasukkan khusus sebagai eksekutor di adu penalti memiliki kemiripan
kisah dengan Carragher di Piala Dunia 2006.
Di perempat final Piala Dunia lawan Portugal, bek Liverpool
itu dimasukkan pada penghujung babak tambahan waktu. Seperti dilansir panditfootball, Carragher dijadikan
eksekutor karena, sebelumnya, ia sukses menjaringkan bola dalam dua adu penalti
bersama The Reds. Ia juga sukses
menendang di sesi latihan. Namun, menghadapi Portugal, ia gagal sebagai
penendang pertama.
“Saya tak pernah gagal bersama Liverpool dan saya selalu memiliki
kepercayaan bahwa kami akan menang bersama mereka. Itu berbeda dengan Inggris.
Anda merasa bahwa Anda akan kalah sebelum memulai. Mungkin itu murni perkara
psikologis, karena dengan Liverpool kami punya riwayat kemenangan adu penalti.
Kami tidak memilikinya bersama Timnas Inggris,” kata Carragher.
Sebelum dimulai adu penalti di final Piala Eropa 2020, saya
pun teringat dengan teori first-mover
advantage (FMA). Chiellini memenangi lempar koin dan memilih menendang
lebih dulu.
Salah satu penelitian
yang mengukuhkan keberadaan FMA dilakukan oleh Jose Apesteguia dan Ignacio
Palacios-Huerta pada 2010. Mereka mengumpulkan sampel 129 adu penalti dari
turnamen papan atas. Hasilnya, tim yang menendang pertama memiliki probabilitas
kemenangan hingga lebih dari 60%.
Lalu Palacios-Huerta
mempertajam penelitiannya pada 2014. Kali ini ia mengumpulkan 1.001 sampel adu
penalti yang digelar sebelum 2012. Hasilnya, probabilitas kemenangan tim yang
menendang pertama tetap unggul signifikan, yaitu 60,6%.
Apa pasal FMA dapat
terjadi? Jika tim pertama terus-menerus sukses mengeksekusi penalti, tendangan
tim kedua dapat menjadi tendangan hidup-mati: nasib tim ditentukan oleh
keberhasilan mereka. Ini meningkatkan tekanan psikis eksekutor penalti.
Tim penendang kedua juga
lebih kesulitan karena tekanan psikologis yang lebih besar. Jika tim pertama
berhasil mencetak gol lebih dulu, maka pemain tim kedua sadar bahwa
pertaruhannya lebih menentukan. Ia tak boleh gagal jika tak ingin timnya
tertinggal dan hanya berjarak beberapa tembakan dari eliminasi.
Kalau pun tim pertama
gagal mencetak gol, tim kedua seyogianya harus mencetak gol untuk mengambil
keuntungan tersebut. Maka beban tim kedua secara psikologis lebih besar, baik
tim pertama berhasil mengonversi menjadi gol atau pun gagal.