Jalur Gula di Kota Semarang
Gula merupakan primadona industri di
Pulau Jawa pada era penjajahan Belanda. Tercatat, pada tahun 1925, terdapat 202
pabrik gula yang beroperasi dengan gilang-gemilang di Jawa. Seperti dilansir buku
“Jalur Gula Kembang Peradaban Kota Lama Semarang”, kapasitas ekspor pada zaman
itu menempatkan Pulau Jawa sebagai produsen gula nomor dua terbesar di dunia.
Hanya berada di bawah Kuba. Dua negeri itu, bersama Kerajaan Jerman,
menghasilkan lebih dari sepertiga produksi gula dunia.
Perkembangan industri gula di Tanah Jawa
pada masa kolonial tumbuh beriring dengan revolusi teknologi permesinan dan
transportasi. Bahkan, rel kereta pertama yang dibangun antara Semarang dengan
Tanggung (1864-1867) tercatat sebagai rel kereta yang pertama di Indonesia.
Pada masa awalnya, jaringan kereta api
di Semarang erat kaitannya dengan distribusi hasil bumi pula. Sebagai kota
pelabuhan, perdagangan, dan jasa; kawasan kota lama Semarang pada zaman itu
merupakan tujuan distribusi hasil bumi sebelum kegiatan pengapalan dilakukan ke
pasar dunia.
Sebelum berkembangnya transportasi
kereta, hasil panen tebu dibawa dengan pedati yang ditarik sapi, kerbau, atau
kuda. Dengan cara itu terdapat keterbatasan dalam hal jarak tempuh dan
kecepatan. Setelah ada rel kereta, tebu dari perkebunan yang jauh jaraknya bisa
dikirimkan ke pabrik. Dengan waktu lebih cepat pula. Keuntungan ini bukan hanya
dalam suplai tebu, melainkan juga dalam distribusi hasil pengolahannya, yakni gula.
Bahkan, efek berganda didapatkan, kombinasi antara industri gula dan jaringan
rel kereta api ikut merangsang tumbuhnya wilayah-wilayah lain. Terutama wilayah
pesisir utara Jawa, yang menjadi awal dari pengiriman hasil bumi ke pasar dunia.