Pernah Memakai Blangkon?
Ini Sejarahnya
Blangkon merupakan ikat kepala pria dalam tradisi busana Jawa.
Terbuat dari jalinan kain polos atau bermotif hias (batik), dilipat, dililit,
dijahit, sehingga menjadi semacam topi yang dapat langsung dikenakan oleh
pemakainya.
Blangkon merupakan kelengkapan pakaian
tradisional Jawa, di samping fungsinya sebagai penutup kepala juga terkandung
maksud simbolik berupa pengharapan dalam bobot nilai-nilai hidup. Seperti
dilansir buku Penetapan Warisan Budaya
Takbenda Indonesia Tahun 2017, masyarakat
Jawa beranggapan bahwa kepala seorang lelaki mempunyai arti penting dan amat
diutamakan, sehingga masyarakat Jawa kuno menggunakan Blangkon sebagai pakaian
keseharian dan dapat dikatakan pakaian wajib.
Riwayat blangkon, dapat dilacak baik
dalam lajur sejarah lisan, mitologi, babad, maupun sastra tulis. Pengenaan ikat
kepala, berbentuk surban sudah dikenali sejak hikayat Ajisaka, pendatang yang
mengenakan kain penutup kepala (surban) sebagaimana tradisi asalnya (masyarakat
Keling, India). Ajisaka yang diyakini sebagai cikal bakal pengembang peradaban
di Jawa salah satu yang disebut-sebut sebagai sumber muasal blangkon.
Kelahiran blangkon sering dikaitkan
penambahan varian pengenaan iket lembaran
dan iket tepen dalam tradisi busana
Jawa, yang tercermin pula dalam busana tari klasik. Kelahiran blangkon secara
masif diperkirakan bersamaan dengan beralihnya penutup kepala dari kain (iket tepen) ke penutup kepala dengan tropong dalam dunia pertunjukan wayang
wong.
Pada hakikatnya, “blangkon” dalam arti
penutup kepala dari lilitan kain tinggal pakai bak topi.