Memotret Bandung di Tahun 1990-an dari Novel “Ancika”
Suasana sebuah kota
dapat “dihidupkan kembali”, baik itu melalui novel ataupun film. Salah satunya
adalah kota Bandung pada novel-novel karya Pidi Baiq. Yang teranyar tentu saja
pada novel Ancika: Dia yang Bersamaku
Tahun 1995.
Mari sejenak
bernostalgia.
Di antaranya mengenai
tempat makan, seperti tertera pada halaman 30:
Dulu, memang belum ada
banyak kafe, tapi untuk yang suka makan bakso, bisa datang ke Jalan Kejaksaan,
atau di belakang Dian Theatre, yaitu di daerah Jalan Balong Gede. Untuk yang
mau hot dog, bisa mampir ke Gelael di
Jalan Ir.Haji Djuanda yang sekarang sudah tak ada.
Sisi bangunan tinggi,
perubahan kontur kota Bandung dibahas pada halaman 29:
Sawah-sawah belum
berubah menjadi kompleks perumahan. Saya masih bisa melihat pemandangan gunung
di kejauhan. Saya masih bisa melihat rumah-rumah tua di Dago dan juga di daerah
Cipaganti yang belum berubah menjadi toko atau factory outlet.
Dulu, mall juga masih sedikit, sepertinya cuma
ada Palaguna, Bandung Indah Plaza, dan Parahyangan Plaza.
Mau berburu bahan
bacaan? Pasar Buku Cikapundung dapat menjadi pilihan, seperti tertera pada
halaman 36:
Tentu saja, itu ajakan
menarik, karena saya suka buku. Apalagi kalau membeli bukunya di Pasar Buku
Cikapundung. Di sana begitu banyak lapak yang menjual buku-buku bekas. Sebagian
besar adalah buku-buku impor dan berkualitas.
Suasana jalan raya kota
Bandung pun dipotret pada fragmen Ancika terjebak hujan di tempat bimbingan
belajar. Hal tersebut dapat disimak pada halaman 103:
“Ini sudah reda, kok,”
jawab saya berusaha membuat Mama tenang.
“Jangan naik angkot,” kata Mama, “nanti aja dijemput.”
Saya bisa mengerti apa
yang Mama katakan karena pada masa itu, Bandung tidak seramai sekarang, dan
lalu lintas relatif masih sepi. Mama tidak ingin saya mengambil risiko yang
tidak perlu dengan naik angkot di malam hari dalam cuaca yang buruk.
Demikian sekelumit
nuansa kota Bandung di tahun 1990-an. Apakah Anda tengah bersiap untuk ke kota
Bandung pada akhir pekan ini?