Filosofi Tumpeng
Tumpeng adalah nasi berbentuk
kerucut dan pada umumnya tinggi kerucut lebih daripada diameter lingkaran
dasarnya. Tumpeng pada umumnya dibuat dari nasi putih, kadang-kadang juga
dibuat juga dari nasi gurih dan atau nasi kuning yang diletakkan di atas tampah
dan dikelilingi aneka macam lauk pauk yang isinya tergantung dari jenis dan
nama tumpengnya.
Tumpeng berbentuk
kerucut beserta lauk pauknya mengandung makna simbol ekosistem kehidupan alam.
Bentuk kerucut menjulang melambangkan keagungan Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan
lauk pauk merupakan simbol dari alam.
Cara mengambil
menggunakan centong untuk mengambil nasi dan lauk pauk di bagian bawah tumpeng
itu disebut mengeruk. Makin lama dikeruk dan diambil bagian bawahnya, bagian
atas tumpeng perlahan-lahan akan turun. Akhirnya puncak tumpeng menyentuh dasar
alas tumpeng. Peristiwa seperti ini disebut paripurna atau sudah mencapai manunggaling kawula lan Gusti, artinya
doa yang kita panjatkan alhamdulillah diridai oleh Tuhan.
Selain itu, sajian
tumpeng mempunyai makna sebagai simbol atau lambang yang menggambarkan
kehidupan sehari-hari, yaitu: (1) Tumpeng sebagai bukti ada unsur religius
terkait kuliner; (2) Tumpeng sebagai simbol yang digunakan pada berbagai
perayaan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa; (3) Perayaan kenegaraan; (4)
Perayaan masyarakat; (5) Perayaan keluarga; (6) Perayaan pernikahan; (7) Acara kematian;
(8) Perayaan keperluan khusus perorangan; (9) Permintaan maaf; (10) Perayaan
terkait kekuasaan.
Adapun lauk pauk yang
biasa ada dalam hidangan nasi tumpeng yaitu nasi putih, ayam, ikan lele, ikan
teri, telur, urap, cabe merah.
Mau tahu ragam tumpeng?
Anda bisa mengunjungi Museum Gastronomi Indonesia di laman: museumgastronomi.id.
Ada enam jenis tumpeng yang ditampilkan di ruang pamer virtual Museum
Gastronomi Indonesia. Ada tumpeng robyong, tumpeng punar, tumpeng pungkur,
tumpeng kendhit, tumpeng megana, tumpeng duplak.
Kapan terakhir kali
Anda makan tumpeng?