Tetap Untung Sekalipun Restoran Berkonsep All You Can Eat
Beberapa hari yang
lalu, saya dan teman-teman berkunjung ke restoran Yakiniku & Shabu-Shabu
berkonsep all you can eat. Timbul
pertanyaan dari teman saya, bagaimana bisa restoran ini dapat mengambil untung
dengan mengusung konsep all you can eat?
Saya pun menjawab kala itu bahwa jika rugi, tentu tidak ada restoran all you can eat dimana-mana. Tentu konsep
all you can eat telah diperhitungkan
untuk mendapatkan laba.
Dalam restoran yang
kami kunjungi tersebut, kami diberikan waktu 90 menit untuk bersantap. Jika
masih ada makanan yang tersisa di piring, maka kami akan dikenakan denda. Dari
peraturan tersebut saja secara sederhana telah terpetakan limit serta metode
meraih laba bagi restoran.
Chef Edwin Lau di akun
Instagram-nya @chefedwinlau memberikan beberapa trik yang “tersembunyi” dari
restoran Yakiniku & Shabu-Shabu supaya tetap untung sekalipun berkonsep all you can eat.
Mayoritas restoran tersebut mengimpor dagingnya sendiri sebagai
komoditi termahal maupun memiliki bisnis supplier
yang juga menjual daging tersebut. Jadi restoran tersebut sebenarnya bukan
bisnis utama, melainkan sarana untuk memutar turnover dari stok barang mereka agar tetap dalam kondisi terbaik.
Dengan berposisi sebagai importir/supplier,
pembelian juga akan berbentuk bulk
dengan kontrak jangka panjang dengan peternak sehingga harga yang didapatkan
akan sangat murah ketimbang harga jualnya nanti.
Mayoritas restoran
berkonsep all you can eat yang paling
terkenal dan sukses adalah pebisnis kelas kakap yang butuh lebih banyak outlet untuk “memutar” uangnya. Dengan
demikian, jumlah pajak juga akan mengecil serta value perusahaan menjadi lebih tinggi, terutama kelak perusahaan
tersebut go public maupun diinvestasi
oleh venture company. Jadi yang
penting restoran-restoran tersebut tidak sampai rugi, sehingga dari sisi
pembukuan masih positif.
Mayoritas potongan
daging yang disajikan merupakan jenis secondary
cuts yang melalui teknik pemotongan karkas tersendiri sehingga jauh lebih
murah harganya ketimbang prime cuts
(tenderloin, rib-eye, striploin). Jenis secondary
cuts ini juga sebenarnya lebih cocok dimasak lama (semur) baru lembut,
namun disajikan sebagai bahan yang dimasak cepat. Alhasil, Anda tidak akan bisa
makan sebanyak-banyaknya karena umumnya potongan tersebut penuh urat, connective tissue, dan ligamen.
Sedangkan inside marbling sangat
mudah dicerna namun biasanya melimpah pada prime
cuts.
Konsep all you can eat membuat restoran tersebut
hanya perlu membuat jenis saus yang spesifik, lebih sedikit jumlahnya, dan
bahannya itu-itu saja. Ini sangat baik untuk kestabilan food cost sehingga perusahaan bisa membelinya kembali secara bulk dengan harga lebih murah.
Mayoritas restoran
berkonsep ini tidak menyajikan jenis ikan premium, karena jika iya, maka cost ikan segar tersebut bisa lebih
mahal ketimbang daging gram per gramnya. Mayoritas hanya memakai frozen fish berkualitas rendah dan
peminatnya juga sedikit karena aroma amisnya.
Anda punya ide lainnya
bagaimana restoran Yakiniku & Shabu-Shabu berkonsep all you can eat dapat meraih untung?