Beberapa tahun lalu, saya bersama keluarga berkesempatan berkunjung ke sanggar tari Didik Nini Thowok. Berada di bilangan Yogyakarta, kami melihat berbagai arsip dari penari yang kini telah berusia 67 tahun ini. Mulai dari aneka busana yang dikenakannya ketika menari, berbagai suvenir dari berbagai negara yang dikunjunginya, sejumlah foto kala Didik menari di berbagai negara serta daerah, aneka topeng, foto Didik bersama sejumlah tokoh, dan sebagainya.
Kala berbincang dengannya, Didik memiliki harapan bahwa suatu waktu segala arsip yang dimilikinya itu dapat menjadi museum tersendiri. Ia pun memiliki sejumlah rekaman dari tari yang dilakukannya. Menurutnya hal itu penting, karena beberapa tari dapat punah, di antaranya karena tidak ada keberlanjutan generasi penari yang menarikan tarian tersebut.
Gerakan tari yang direkam memang memungkinkan untuk menjadi arsip berharga, serta dapat dipelajari kini dan nanti.
Dengan kian majunya penggunaan teknologi serta akomodatifnya media sosial terhadap tayangan visual, maka dapat menjadi cara untuk mencegah kepunahan dalam bentuk apapun.
Ibaratnya arsip, maka pilihannya kian beragam dengan tayangan visual. Suatu waktu saya melihat serial Si Doel Anak Sekolahan, footage-nya memperlihatkan Jakarta yang masih begitu hijau, banyak pohon.
Sebagai informasi serial tersebut terkenal dan memiliki latar waktu di tahun 1990-an. Footage tersebut dapat menjadi pembanding jika katakanlah diambil video di masa sekarang di tempat yang sama. Rasa-rasanya sudah tidak sehijau dan serimbun footage yang diambil di masa 1990-an.
Dalam mempelajari sejarah pun, sejumlah tayangan visual, seperti film dapat menjadi referensi. Misalnya kondisi Jakarta di masa Hindia Belanda. Lalu dapat dilakukan cek silang, katakanlah dengan berbagai pustaka yang ada. Contohnya penggunaan sejumlah kali di Jakarta untuk berbagai kebutuhan pada masa lampau, bangunan-bangunan tertentu yang ikonik.
Bersama tayangan visual, masa lalu, masa kini, masa mendatang, bak kapsul waktu. Dimana dapat dilakukan ulang-alik untuk mereguk inspirasi, menggunakannya dalam konteks kekinian, serta menggagas narasi untuk masa mendatang.
Jika meminjam diksi penyair Sapardi Djoko Damono, maka yang fana adalah waktu, kita abadi. Bersama tayangan visual, merupakan cara untuk mengabadikan aktivitas dan karya kemanusiaan.