Jelajah
Banda Neira, ‘Magnet’ dari Pala Hingga Pertukarannya dengan Manhattan
Hari Kamis (30/12/2021) saya mengikuti
Plesiran Tempo Doeloe (virtual tour): Perebutan Pala di Banda Neira yang
diselenggarakan Sahabat Museum.
Banda Neira, mendengar kata itu apa yang
ada di kepala Anda? Kalau di kepala saya hal-hal berikut bertaut dengan kata
Banda Neira.
Grup musik Banda Neira yang diawaki oleh
Rara Sekar dan Ananda Badudu. Lagu-lagunya seakan mendamparkan di nuansa yang
estetik. Liriknya mampu “menyihir”.
Yang patah tumbuh, yang
hilang berganti
Yang hancur lebur akan
terobati
Yang sia-sia akan jadi
makna
Yang terus berulang
suatu saat henti
Yang pernah jatuh ‘kan
berdiri lagi
Yang patah tumbuh, yang
hilang berganti
Banda Neira juga mengingatkan saya pada
film Banda
the Dark Forgotten Trail. Sebuah film yang disutradarai Jay Subyakto. Film tersebut dengan
presisi dan indah menggambarkan potongan-potongan waktu di Kepulauan Banda
Neira, dari menjadi primadona karena buah pala, kisah Hatta-Sjahrir yang sempat
diasingkan di sana, hingga meredupnya kemilau buah pala.
Rentang kisah dalam film tersebut
merentang dari abad pertengahan, dimana segenggam
pala di Pasar Eropa dianggap lebih berharga dari sepeti emas. Monopoli bangsa Arab
dan perseteruan dalam perang salib membawa Eropa ke dalam perburuan menemukan
pulau-pulau penghasil rempah. Perseteruan bangsa-bangsa terjadi akibat
rempah-rempah. Kepulauan Banda yang saat itu menjadi satu-satunya tempat
pohon-pohon pala tumbuh menjadi kawasan yang paling diperebutkan.
Belanda bahkan rela
melepas Nieuw Amsterdam (Manhattan, New York) agar bisa mengusir Inggris dari
kepulauan tersebut. Pembantaian massal dan perbudakan pertama di Nusantara
terjadi di Kepulauan Banda. Di sana pula, sebuah semangat kebangsaan dan
identitas multikultural lahir menjadi warisan sejarah dunia.
Untuk Anda yang ingin menjelajahi
pengetahuan serta budaya di Kepulauan Banda Neira juga dapat menyimak Banda Dari Dekat Sekali yang
disutradarai oleh Ismail Basbeth.
Kepulauan Banda Neira juga bertaut
dengan ingatan saya melalui buku otobiografi dari Mohammad Hatta.
Hatta sendiri dikenal tepat waktu, hingga
ketika ia melintas menjadi patokan waktu. Hal tersebut diceritakan dalam film Banda the
Dark Forgotten Trail.
Maka ketika saya mengikuti Plesiran
Tempo Doeloe (virtual tour): Perebutan Pala di Banda Neira dengan narasumber
Ade Purnama. Jangkar cerita yang memuat pertukaran Pulau Run dengan Manhattan di Benua Amerika kembali
disegarkan.
Pada masanya Pulau Run begitu memesona
karena komoditas palanya, komoditas jempolan pada saat itu. Belanda kala itu
bahkan bisa mengatrol harga hingga 1.600%.
Namun, Pulau Run dan New York jika
dibandingkan kini, begitu jauh berbeda. Sementara Pulau Run “seakan dibekukan
waktu” sehingga begitu-begitu saja, listrik pun tak dapat dinikmati 24 jam. Nun
jauh di sana New York menjadi kota besar yang diistilahkan kota yang tak pernah
tidur.