Akhir pekan kemarin, kami sekeluarga berkunjung ke Taman Menteng. Di sana terdapat Bookhive Menteng. Di mana para pengunjung taman, bebas untuk membaca buku dari persediaan yang ada di rak buku publik tersebut. Terlihat beberapa anak memilah untuk kemudian memilih buku yang dibacanya. Duduk di bangku taman, ataupun bergeser dinaungi pohon besar menjadi pilihan.
Tentu telah begitu banyak keluhan, tantangan, mengenai minat baca. Berbilang tahun yang lalu, saya bertanya kepada penggiat literasi Gol A Gong tentang minat baca di Indonesia berbasiskan data UNESCO. Ia menepis minat baca masyarakat yang rendah, melainkan yang kurang adalah ketersediaan akses bacaan.
Masih berbilang tahun yang lalu, sempat muncul donasi buku untuk masyarakat. Ada kerja sama antara Kementerian Pendidikan dan PT Pos Indonesia dalam kegiatan tersebut, dimana Anda dapat mendonasikan buku dan mengirimnya secara gratis melalui kantor pos setiap tanggal 17. Sayangnya program ini terhenti dikarenakan sejumlah alasan. Padahal dari pengamatan saya, donasi buku tersebut diminati oleh masyarakat. Saya melihat langsung di kantor pos, termasuk saya juga ikut mendonasikan buku, mengenai semangat untuk berbagi buku ke berbagai daerah.
Masih terkait ketersediaan akses bacaan, belum lama ini saya bertemu dengan penggiat literasi Edi Dimyati. Berbincang di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Kampung Buku di daerah Cibubur, Jakarta Timur, ia bercerita tentang caranya memasifkan akses bacaan. Oh iya, menurut Edi, diksi “Kampung Buku”, setidaknya ditemui pada tiga tempat, yakni TBM Kampung Buku yang dikelolanya, Kampung Buku yang terletak di Makassar, dan Kampung Buku yang berada di Malaysia.
Edi “menebar harta karun” berupa buku. Dikemas dengan plastik, terdapat secarik pesan: bahwa buku tersebut boleh dibawa pulang, jika Anda senang dengan aksi ini bisa melakukan hal yang sama dengan buku lainnya di tempat yang berbeda. Buku-buku tersebut ditebar di sejumlah tempat publik seperti warteg, taman, tempat ibadah, tempat wisata, halte bus, halte angkot.
Upaya menghadirkan akses bacaan, juga ditempuh Edi Dimyati melalui Kabaca. Dalam bahasa Sunda itu artinya ‘terbaca’. Namun, Kabaca juga merupakan kependekan dari Kargo Baca atau Kampung Buku Membaca. Sepeda kargo ini dimodifikasi seminimal mungkin. Tujuannya agar mampu menempuh jarak yang jauh dengan peran sebagai media antar jemput buku yang dimiliki oleh Kampung Buku. Kabaca melaju dengan kecepatan bersahaja mulai pertengahan tahun 2017. Sejak itu pula Kabaca menyapa masyarakat. Perpustakaan bergerak dengan menggunakan kereta angin ini membuka ruang luas bagi masyarakat untuk membaca buku secara gratis.