Belum lama ini saya merampungkan membaca Rumah Tepi Kali. Terdapat sembilan belas cerita dalam kumpulan cerita pendek di buku karya Dedy Vansophi tersebut.
Meminjam testimoni Alan TH, dapat menggambarkan isi dari buku tersebut sebagai berikut: Setiap cerita, yang menghadirkan lakon-lakon bersahaja itu, berada dalam semesta Rumah Tepi Kali. Tidak bakal ditemukan narasi-narasi besar nan dahsyat dalam cerita Rumah Tepi Kali, melainkan tangis dan tawa tertahan karena lakon cerita yang terlalu getir untuk ditangisi atau ditertawakan.
Lakon-lakon bersahaja saya garis bawahi disini. Beberapa waktu yang lalu, sebuah iklan Visit Singapore mampir di YouTube. Sang fotografer di iklan tersebut bercerita mengenai kekhasan karyanya. Yakni memotret hal-hal yang keseharian. Ia melihat di Kampong Glam, ada begitu banyak hal tersebut yang menarik untuk dijepret.
Masih terkait denyut keseharian, ingat di film Ada Apa Dengan Cinta? 2? Rangga dengan menenteng kameranya memotret lakon-lakon bersahaja, seperti pedagang makanan, kehidupan pasar.
Di tengah deru flexing, paparan visual yang memikat via media sosial entah itu Instagram, TikTok – bisa jadi pandangan mata kita terlupa atau tersisihkan dengan hal-hal keseharian, lakon-lakon bersahaja yang ada.
Rumah Tepi Kali, dengan lakon-lakon bersahaja, hal-hal keseharian bertebaran di halaman-halamannya. Ada rasa akrab dengan cerita yang digulirkan. Di samping itu dengan bertonggak pada tokoh-tokoh yang merupakan “orang biasa” ketika di-zoom, didalami, dikulik ceritanya, nyatanya ada banyak ilmu, inspirasi. Baik itu tentang makna keluarga, filosofi hidup, dan sebagainya.
Dari “orang biasa” dengan lakon bersahaja di Rumah Tepi Kali ada samudera ilmu dan hikmah. Pun begitu mungkin dalam kehidupan nyata, kala kita bergaul dengan “orang-orang biasa” yang sesungguhnya telah begitu luar biasa, dengan perjuangannya, dengan nilai yang dipegangnya.