‘But, life is not all about you is it?’ – demikian potongan kalimat pada novel Rapijali. Selarik kalimat tersebut memendarkan berbagai ingatan dan konsep. Bahwasanya diri ini bukanlah pusat semesta, bukanlah pusat episentrum.
Mengapa hal tersebut penting juga untuk dipahami dan diketahui? Dengan demikian ada sikap yang lebih legawa, nrimo, serta pada beberapa tingkat mengikis sifat sombong. Bukankah sifat sombong, salah satu cabangnya yakni ada nuansa aku yang kuat, aku yang utama, aku yang benar, aku yang pintar, akulah yang menentukan, kalau tidak ada aku akan bagaimana nantinya, aku yang lebih baik dari yang lainnya?
Dengan lebih humble menempatkan diri, bukan berarti tak dapat berperan dan berkontribusi. Pada beberapa film, pembelajaran mengenai mereka yang “bukan pemeran utama” layak menjadi renungan.
Dalam film “Laskar Pelangi” ada Lintang (teman akrabnya sang pemeran utama Ikal). Lintang yang cerdas dan si sulung harus merelakan mimpinya di jalur akademik kandas. Ia memilih menjadi nelayan demi membiayai adik-adiknya, selepas ayah mereka meninggal dunia. Namun, Lintang pun dapat berperan juga, memberikan jalan pada anaknya kelak untuk meraih mimpi-mimpinya melalui jalur akademik.
Menarik adanya nukilan bernas pada buku The Invention of Hugo Cabret karya Brian Selznick sebagai berikut: “Kamu tahu, tidak pernah ada bagian yang berlebih dalam sebuah mesin. Jumlah dan jenis setiap bagiannya tepat seperti yang mereka butuhkan. Jadi kupikir, jika seluruh dunia ini adalah sebuah mesin yang besar, aku pasti berada di sini untuk tujuan tertentu. Dan itu berarti, kamu berada di sini juga untuk tujuan tertentu.”
Apa pun peran yang Anda emban, sesungguhnya ada tujuan tertentu dari eksistensi di bumi ini.
Apa pun situasi dan kondisi Anda berperanlah, aktiflah, bertindaklah. Dikarenakan tiap dari kita berarti.