Akhir pekan kemarin kami sekeluarga pergi ke daerah Cikole, Jawa Barat. Berlatar hutan pinus, terdapat beberapa destinasi menarik yang berada di area penginapan kami. Salah satunya adalah All Terrain Vehicle (ATV), mencoba medan offroad berupa jalanan tanah. Anak saya yang berumur 3 tahun, semenjak hari pertama tiba telah mengindikasikan ingin mencoba ATV.
Hal yang masih dapat ditampik di hari pertama karena baru tiba serta mengerjakan aktivitas lainnya. Pada hari kedua, keinginan mencoba ATV kembali “ditagih”. Pun begitu dengan istri yang ikut menyarankan agar saya naik ATV bersama anak.
Akhirnya yowislah saya mencoba. Sebelumnya mengapa saya agak enggan untuk mengiyakan naik ATV bersama anak? Mungkin overthinking, mulai dari medan tanah yang bergelombang, serta overthinking risiko mengendarai bersama anak.
Lalu mengapa saya memberanikan diri untuk mencoba? Salah satunya dikarenakan saya telah melihat orang lainnya yang aman-aman saja membawa anaknya di area depan tempat duduk. Sekilasan saya perhatikan mereka, dan timbul pemikiran: jika mereka aman-aman dan baik-baik saja, pun begitu seharusnya saya beserta anak.
Lalu saya juga merasa safety yakni terdapat petugas yang ikut melakukan mentoring di jalur perjalanan yang dilalui. Mungkin dia melihat saya kurang PD di garis start, sehingga mengiringi di trek yang saya lalui. Berbagai saran diberikan petugas itu, mulai dari mengikuti jalur saja ketika turunan, memahami perangkat di ATV, saran mengenai timing untuk berbelok, dan sebagainya.
Ketika sudah mencoba satu putaran, saya yang telah menjajal arenanya, serta terdapat gambaran mengenai medan yang dilalui, pun merasakan langsung bahwa aman-aman saja. Ketika telah “nyemplung”, mencoba arenanya sendiri, maka tubuh dan pikiran telah memiliki mekanisme untuk menjalankan misi hingga finis.
Tentu saja support system, dalam hal ini istri dan anak, mengukuhkan saya untuk mencoba. Istri yang meyakinkan bahwa aman-aman saja dari penglihatan dia pada pengunjung sebelumnya, anak yang dengan antusias ingin mencoba – beserta kegembiraannya kala di ATV; membuat dua putaran dengan ATV tersebut atas berkat rahmat Allah SWT berhasil dirampungkan.
Jika menarik pengalaman tersebut dalam hal lainnya, menurut hemat saya poin-poin yang ada di atas relevan. Ketika mencoba hal yang baru, bisa jadi kecamuk pikiran, overthinking muncul. Lalu lihatlah kisah-kisah mereka yang telah mencoba. Carilah mentoring dari tutor, ahli yang telah berpengalaman dan kompeten.
Lalu ketika “nyemplung”, tentu ada tantangan disana, namun bukankah kita telah dibekali dengan daya untuk survive? Maka gunakan daya tubuh dan pikiran untuk survive di jalur yang telah dipilih.
Tentu sertakan support system, dalam menapaki jalur baru yang dilakoni, baik itu keluarga, sahabat. Support system tersebut dapat menjadi kompas, penyemangat, serta pengingat bahwa you never walk alone.