Menghargai karya dan kerja keras profesi tertentu dapat dilakukan dengan turut menelusuri proses kreatif mereka. Maka tak mengherankan di sejumlah sentra wisata, selain memajang hasil jadi karya, terdapat pula “dapur karya” bersama orang yang sedang mengerjakannya.
Pada batik, tenun, sebagai contoh. Mungkin saja timbul pertanyaan mengapa harganya bisa pada kisaran tertentu? Pengertian itu dapat timbul ketika datang ke “dapur karya”, melihat proses pengerjaan, berbincang dengan pengrajinnya. Dari selayang pandang sepengetahuan saya, ada kreasi-keterampilan manusia, membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menjadi batik ataupun tenunan tertentu.
Pada beberapa sentra wisata, Anda bahkan juga dapat kesempatan untuk mencoba melakoni keahlian tertentu tersebut. Maka timbul pemahaman juga mengenai jam-jam panjang yang dilatih oleh para pengrajin, rumit serta kesabaran yang diperlukan dalam pengerjaan.
Berada di “dapur karya” juga dapat membuat diri lebih mengapresiasi serta tidak berpikir dalam konteks instan. Misalnya dengan beranjangsana ke sawah ataupun menyertai pembuatan sebuah masakan.
Ikut pergi ke sawah, berbincang dengan petani, Anda pun jadi tahu darimana nasi berasal, serta proses produksinya. Ada variabel musim, pupuk, hama, air, dan sebagainya, yang turut menentukan berhasil tidaknya tanaman padi.
Pun begitu dengan berada di dapur pembuatan masakan. Dari bahan-bahan dasar, pengolahan tertentu, dibutuhkan waktu hingga menjadi makanan yang siap disantap.
Dalam parenting, menyertakan anak untuk mengetahui pekerjaan orang tuanya pun dapat menjadi pembelajaran. Dengan begitu, buah hati tahu tentang dinamika keseharian ayah-ibunya, apa yang dilakukan. Hal tersebut merupakan bagian dari stimulasi olah cipta, olah rasa, olah karsa bagi anak.