Ibarat bermain Tetris, balok-balok yang ada diterima. Lalu apa yang bisa dilakukan? Bisa bersiasat mengaturnya agar menjadi tatanan tersendiri.
Pun begitu dengan hidup, ada aneka hal yang sesungguhnya sulit untuk diterima. Emoh. Namun, mau dikata apa hal tersebut harus diterima. Berdamai dengan diri, berdamai dengan ekspektasi.
Dalam ranah agama dikenal, qada dan kadar. Atau juga seperti tertera dalam Al-Qur’an: “…Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Berbagai hal yang awalnya “sulit diterima” tersebut, bersama waktu dan penyikapan yang tepat dapat menjadi hikmah tersendiri.
Ibarat istilah, nasi sudah menjadi bubur – maka dibanding terus menyesali mengapa, bukankah lebih positif untuk menjadikannya bubur yang nikmat. Menambahkan dengan aneka bahan agar bubur itu lezat disantap.
Dalam hidup ini memang perlu berdamai dan menyesuaikan. Seperti arsitektur, jika bangunan terkendala dengan kontur alam sebagai contoh, maka bangunan tersebut yang beradaptasi dengan kodrat alamnya. Ataupun peci yang menyesuaikan dengan ukuran kepala, sepatu yang menyesuaikan dengan ukuran kaki – sebagus apa pun peci, sepatu tersebut, jika tidak sesuai ukuran, akan tidak pas, klop.
Jika meminjam konsep Stoik, maka sesungguhnya peristiwa itu netral, Andalah yang menafsirkannya. Maka mari dari dalam diri lakukan kendali terhadap tafsir.
Kendali itu dapat dilakukan, di antaranya dengan bersyukur. Lalu juga dapat dilakukan dengan berfokus pada apa yang kita punya, apa yang menjadi kekuatan kita.