Duduk di kursi penonton serta di “kursi” pelaku adalah hal yang berbeda. Contohnya dalam hal sepak bola. Ketika menonton bersama katakanlah, merupakan hal yang lazim jika mendengar ada saran ini-saran itu dari yang menonton. Mungkin Anda mendengarnya, lumrah juga jika Anda yang melakukannya.
Berada di “kursi” pelaku berbeda kiranya dengan di kursi penonton. Ada risiko, pengetahuan lebih yang dimiliki. Seperti contoh di atas, pelatih tim sepak bola mungkin enggan memasukkan seseorang karena pemain itu tidak sedang fit betul, pertimbangan taktik, dan sebagainya. Teramat mungkin ada informasi lebih yang tidak terakses oleh penonton.
Dalam hal lainnya, berada di “kursi” pelaku, ada latar sejarah, sosial, kondisi saat itu, yang menyebabkan seseorang mengambil tindakan tertentu. Terhadap berbagai hal, kita mungkin dapat mengomentari sebagai penonton, entah itu kehidupan selebritis – mengapa selebritis melakukan tindakan tersebut, politikus – mengenai langkah koalisi yang dilakukannya, dan sebagainya.
Contoh lainnya ketika dalam kendaraan. Kala menjadi penumpang ojek online dan membawa motor sendiri dalam pengalaman saya terasa berbeda. Kala menjadi penumpang ojek online, dalam sudut pandang saya sebagai contoh, tidak mengambil kecepatan seperti si pengemudinya, memilih mengerem di waktu tertentu. Beda kiranya ketika membawa motor sendiri, ada seluk beluk pengetahuan mengenai motor yang dikendarai, gaya berkendara diri, dan sebagainya.
“Kau tidak akan pernah bisa memahami seseorang hingga kau melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya…hingga kau menyusup ke balik kulitnya dan menjalani hidup dengan caranya.” – Harper Lee. Kiranya pernyataan dari penulis novel To Kill a Mockingbird tersebut layak menjadi perenungan.
Dari perbincangan, jejaring sosial, membaca berbagai sudut pandang, sesungguhnya kita dapat mengerti mengenai sebab akibat, alasan suatu tindakan. Dengan begitu harapannya kita dapat menjadi penonton yang berempati serta pelaku yang bijaksana.