Formula sebuah film pada bahan dasarnya bisa jadi serupa. Tinggal eksekusinya saja yang berbeda. Salah satu formula yang dapat diterima secara universal, serta mengandung unsur drama yakni mengaitkannya dengan keluarga.

Baik itu hubungan ayah-anak, ibu-anak, merupakan formula yang telah kita temui bersalin rupa, direpetisi dalam banyak film yang ada. Belum lama ini saya menonton kembali film “Train to Busan”. Selepas menontonnya, saya pun menemukan sejumlah “benang merah” yang mengingatkan pada “Squid Game”.

Pemeran utamanya memiliki relasi tertentu dengan ibunya, lalu sang ibu meninggal dunia. Dalam film “Train to Busan”, ibu dari Seok-Woo menjadi korban dari wabah zombi. Hal itu terkonfirmasi kala Seok-Woo menerima telepon dari ibunya yang menceritakan keadaan sekitar, lalu dari rona suaranya bertransformasi menjadi zombi.

Sedangkan pada “Squid Game”, Seong Gi-hun mendapati ibunya telah meninggal dunia selepas mengikuti ajang mematikan tersebut. Kenyataan yang membuatnya limbung dan kehilangan arah, mengingat salah satu semangatnya untuk memenangkan Squid Game adalah sang ibu.

‘Benang merah’ berikutnya yang serupa adalah hadiah ulang tahun. Keduanya memang memberi hadiah ulang tahun pada anaknya, namun boleh dibilang pemberian mereka “mengecewakan”.

Pada “Train to Busan”, relasi ayah-anak diperlihatkan melalui hadiah ulang tahun. Seok-Woo memberikan hadiah konsol gim kepada anaknya Soo-An. Konsol gim tersebut ternyata telah dimiliki Soo-An di kamarnya.

Sedangkan Seong Gi-hun menggunakan sisa uang menang taruhan kuda pacuan di mesin capit. Ia ingin memberi hadiah ulang tahun pada anaknya dengan apa yang bisa diperolehnya dari mesin capit. Gi-hun meminta bantuan seorang bocah lelaki yang tahu cara memenangkan item apa saja di mesin capit berhadiah itu.

Gi-hun memintanya untuk memenangkan kotak hadiah ramping yang dibungkus dengan pita merah muda, ia berasumsi itu berharga dan sesuai untuk anak perempuannya. Namun, ketika anaknya Ga-yeong membuka kotak itu, dia menemukan korek api berbentuk pistol. 

“Benang merah” berikutnya yakni kondisi pernikahan dari Seok-Woo dan Seong Gi-hun tidak baik-baik saja. Mereka pun pada awalnya digambarkan dengan tipikal yang kurang baik. Seok-Woo si egois, manajer keuangan yang rakus mencari laba. Sedangkan Seong Gi-hun merupakan penjudi akut, dengan utang dimana-mana.

“Benang merah” selanjutnya yakni kedua ayah tersebut, berusaha menjadi bapak yang baik. Dan hal itulah yang menjadi turning point, tujuan mereka ketika menghadapi tantangan maut di film.