Jangan melihat buku dari kovernya, kalimat tersebut lazim didengar dan diingat, namun benarkah seluruhnya? Nyatanya adalah logis untuk melihat kover, tampilan awalnya. Maka tak mengherankan kemasan, bungkus, tampilan depan, halaman muka, kover, diupayakan dengan sungguh.

Bagaimana mau tertarik untuk lebih jauh, jika sejak awalannya saja sudah ilfeel, kecewa, mager, tak menggugah selera. Halaman depan sebuah koran, terpampang rupa-rupa berita, cerita, dan peristiwa. Apa pasal? Hal ini untuk menarik minat pembaca untuk mengetahui selayang pandang isi koran apa saja.

Di samping itu dengan ragam minat, kepentingan dari orang, maka dari rupa-rupa di halaman depan itu, bisa menjadi alasan untuk membeli. ‘Ini informasi yang saya cari’, ‘ini informasi yang saya butuhkan’ – demikian kiranya.

Di halaman depan sebuah koran juga lazimnya berita tidak tampil utuh, melainkan dipenggal dan bersambung ke halaman sekian. Hal tersebut mengakomodir keterbatasan halaman depan, sehingga untuk memuat rupa-rupa berita, cerita, peristiwa, maka halaman muka tampil dengan berita tidak utuh, sekian persen saja, sisanya dapat dilihat di halaman sekian.

Halaman muka sebuah koran tak melulu terpampang rupa-rupa berita, cerita, peristiwa. Pada beberapa momen, halaman muka dapat difokuskan pada satu isu tertentu. Penting dan menarik tetap menjadi rumus baku, di samping itu terdapat visual yang menyorot fokus tersebut.

Tak mengherankan jika terdapat penghargaan sampul halaman muka terbaik. Seperti harian Republika yang meraih penghargaan sampul halaman muka terbaik dengan judul ‘Kanjuruhan, Duka Kita’.

Penghargaan sampul halaman muka terbaik ini juga merupakan isyarat bahwa bahasa visual dihargai sama dengan bahasa tulisan. Koran Tempo edisi 5 Mei 2009 dengan sampul muka yang separuh halaman bergambar bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dengan tuxedo hitam mendapatkan anugerah sampul muka terbaik surat kabar nasional kala itu. Sebuah bukti nyata bahasa visual dapat begitu menggedor, “berbahasa”, serta menarik perhatian.