Flu mendera anak saya. Alhasil pada malam hari ia agak tidak nyaman dalam tidurnya. Sedikit-sedikit terbangun, dengan hidung yang mampet.
Pada pagi ini tak lama setelah bangun, dengan kesadaran sendiri, ia berkata ingin berjemur. Ya, berjemur merupakan salah satu metode untuk menyembuhkan flu. Sebuah pengetahuan yang telah diketahui anak saya dan dikerjakannya.
Seiring usia kita, ada begitu banyak informasi, ilmu yang kita ketahui. Konten “daging” mengenai berbagai hal pun kini lebih mudah diakses melalui bantuan teknologi. Namun, adakah informasi, pengetahuan yang telah diketahui, berbuah menjadi tindakan, kebiasaan?
Menarik adanya apa yang dikupas Ekonom Lingkungan Andhyta F. Utami di majalah Tempo mengenai manusia tidak suka-atau mungkin kurang lihai-berubah:
Ilmu psikologi menjelaskannya sebagai status quo bias, preferensi kognitif kita untuk mempertahankan kondisi saat ini. Ilmu biologi juga menunjukkan bahwa bahkan ketika evolusi terjadi, lebih banyak DNA yang bertahan ketimbang berubah. Ilmu fisika kemudian mengenal inersia atau kelembaman, kecenderungan benda untuk menolak perubahan terhadap keadaan geraknya.
Bahkan ketika otak rasional kita tahu bahwa perubahan dibutuhkan, misalnya demi olahraga atau diet, alam bawah sadar kita sering memberi justifikasi untuk menghindar.
Dengan basis tersebut, mungkin dapat menjelaskan mengapa dari tahu tidak menjadi tindakan, melakukan. Diperlukan effort, dari mengetahui menjadi melakukan.
Lalu apa yang dapat dilakukan? Jika meminjam konsep Atomic Habits terdapat prinsip Make It Attractive. Dalam hal ini kebiasaan baru, harus “dikawinkan”, dicarikan irisan dengan hal yang suka kita kerjakan.
Seperti misalnya, agar dapat membiasakan berolahraga secara rutin, dapat “dikawinkan” dengan berolahraga sembari mendengarkan podcast (jika itu hal yang Anda sukai) atau sembari mendengarkan musik (jika itu hal yang Anda sukai).
Dengan begitu hal yang telah kita ketahui baik: berolahraga, dapat dilakukan dengan menyertakan unsur yang telah melekat disukai diri.