Suatu peristiwa dapat dialami oleh beberapa orang, namun seberapa jauh peristiwa itu dapat beresonansi ke khalayak yang tak mengalaminya? Maka salah satu wahana aktualisasi, “perekam peristiwa” dengan menulis.
Poin-poin penting pada peristiwa dapat dicatat, diingat, untuk kemudian di waktu tertentu, dibuat menjadi karya tulis. Maka benarlah kiranya pendapat bahwa menulis dapat memanjangkan ingatan.
Pun begitu ketika bilangan waktu berlalu, ketika melihat kembali arsip, dapat di-recall segala ingatan tentang peristiwa di hari yang telah lampau.
Menulis di sisi lain juga dapat membuat seseorang menjadi pengamat. Dikarenakan seseorang itu butuh “bahan” untuk menulis. Maka “berburulah” seseorang itu, bahan-bahan apa saja.
Dari pengalaman personal saya dalam “berburu” itu, beberapa memang telah direncanakan, terstruktur, terbayangkan. Oh saya nanti mau menulis tentang ini, maka bahan-bahan terkait pun diburu. Namun, alangkah lebih baiknya jika lebih banyak bahan “buruan” yang diambil. Karena ketika menulis, terkadang perlu “bumbu pelezat tulisan”.
Hal-hal yang semula terlihat tidak terkait, namun jika dikaitkan dengan tulisan, maka lebih mangkuslah tulisan itu. Maka penggunaan panca indra, pencatatan tentang apa saja yang sekiranya menarik perlu dilakukan (ibaratnya catat saja dulu, ambil saja dulu bahannya – nanti apakah dibutuhkan atau tidak, tergantung proses produksi tulisan).
Untuk pengamatan dan mencatat, baiknya dilakukan segera. Dikarenakan dapat terlupa sebab daya ingat yang terbatas, fokus yang mungkin telah beralih, dan sebagainya. Maka siap sedialah mencatat. Bisa dengan menggunakan perangkat teknologi, seperti ponsel, yang lazimnya melekat pada orang-orang saat ini. Atau tak ada salahnya pula mencatat secara manual dengan bolpoin dan notes. Entah kenapa catatan tangan, dapat terekam lebih dalam, serta dapat lebih menghadirkan nuansa peristiwa yang terjadi.