Menulis sebagai keterampilan, membantu seseorang untuk berpikir lebih mendalam. Dari mana “bahan” seseorang dapat menulis? Hal itu dapat ditempuh dari amatan, obrolan, membaca. Dalam proses menulis, tidak serta merta langsung jadi. Melainkan terdapat proses penyuntingan. Di proses inilah akan ditimbang, dilihat, segala macamnya. Seperti adakah salah tik, kesesuaian logika, kesesuaian kalimat, pemilihan diksi, dan sebagainya.
Dengan proses tersebut, maka menulis membuat pikiran untuk lebih menelaah. Adakah jangan-jangan apa yang dituliskan keliru, maka dilakukan cross check, dipikirkan kembali. Proses penyuntingan juga upaya untuk mengambil jarak tertentu dari tulisan, mencoba melihat sudut lainnya.
Ada berbagai metode dalam penyuntingan, salah satunya dengan “meninggalkan” terlebih dahulu tulisan yang telah ditulis. Berikan jeda waktu. Lalu ketika jeda telah dilakukan, kembalilah ke tulisan tersebut serta melakukan penyuntingan. Dengan jeda tersebut, maka seperti terjadi pengendapan, baik terhadap pikiran, serta apa yang ditulis. Saat bertemu kembali dengan tulisan ketika menyunting, bisa jadi ada semacam kekeliruan berpikir, kesalahan logika, dan sebagainya.
Maka menulis, ibarat orang yang mengunyah makanan secara perlahan-lahan – membutuhkan waktu hingga sampai ke tujuan. Untuk tulisan yang selesai disajikan ke publik, bisa jadi telah melalui sejumlah penyuntingan, penulisan kembali.
Pada menulis, saat prosesnya, bisa jadi dilakukan kembali amatan, obrolan, membaca. Hal tersebut untuk melakukan cross check, mendapatkan fakta-data yang lebih baik dan banyak. Terdapat proses belajar kembali yang melibatkan pikiran.
Menulis memang melibatkan pikiran, sejak awal hingga akhir. Bahkan ketika tulisan telah selesai dan dinikmati orang banyak, apa yang ditulis, masih dipikirkan oleh penulisnya. Respons dari pembaca juga menjadi bahan pertimbangan tersendiri bagi penulis.