Tempo lalu saya mengikuti pelatihan menulis fabel. Selepas itu mulai terpantik untuk membuat cerita anak. Masih berbentuk titik-titik ide, premis – saya pun coba untuk “menguji” cerita itu pada anak saya yang menjelang umur 5 tahun. Dengan “menguji” sembari menceritakan itu, saya mendapatkan sudut pandang anak. Bagaimana anak melihat cerita, bagaimana diksi yang selaiknya digunakan, dan sebagainya.
Rupanya melihat dari sudut pandang yang diceritakan penting adanya. Seperti penulis skenario Gina S.Noer tentang filmnya “Posesif”, yang menurut anaknya yang telah remaja film itu telah tidak relate lagi. Padahal anaknya menonton hanya berselang 5 tahun dari film itu tayang di bioskop. Bila menarik dari sampel tersebut, berarti ketika membuat cerita perlu kiranya untuk melibatkan sudut pandang dari apa yang diceritakan. Hal itu agar apa yang diceritakan relevan dengan apa yang terjadi.
Hal senada dilakukan oleh penulis Dewi Lestari ketika membuat novel “Rapijali”. Latar tokohnya merupakan mereka yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Maka Dewi Lestari “menguji” ceritanya pada anaknya yang remaja. Dengan mendapatkan masukan dari anaknya tersebut, maka dunia remaja benar-benar dapat presisi diwartakan. Seseorang yang melihat dunia remaja, serta remaja yang mengalami masanya – tentu berbeda kiranya. Maka seorang penulis perlu pula untuk menyertakan sudut pandang dari karakter yang diceritakan.
Para penulis dapat melakukan amatan, obrolan, bacaan – ketika membuat cerita yang sekiranya memotret ceruk umur tertentu, keseharian yang berbeda dengan penulisnya. Menjadi penulis memang tidak sesederhana itu ternyata.