Novel “The Architecture of Love” (TAOL) menceritakan tentang Raia seorang penulis yang mengejar inspirasi di kota New York. Raia menjadikan setiap sudut New York “kantor”-nya. Berjalan kaki menyusuri Brooklyn sampai Queens, dia mencari sepenggal cerita di tiap jengkalnya, pada orang-orang yang berpapasan dengannya, dalam percakapan yang dia dengar, dalam tatapan yang sedetik-dua detik bertaut dengan kedua matanya.
Seiring pengejaran inspirasi tersebut, Raia bertemu dengan River Jusuf yang mengajarinya melihat kota dengan cara berbeda. “Setiap gedung punya cerita” – itulah kiranya salah satu permaknaan baru yang didapatkan Raia
Flatiron Building, Queensboro Bridge, Paley Park, Grand Central Terminal, merupakan sejumlah tempat yang mereka kunjungi. Kerja serta filosofi arsitektur pun diungkap oleh River yang berlatar sebagai arsitek. Bahwa arsitektur bukan sekadar tentang matematika, seni, dan konstruksi. Arsitektur juga perkara perasaan.
Adakah Anda pernah melakukan hal serupa Raia dan River untuk melihat arsitektur di suatu kota? Di antara ragam wisata yang ditawarkan, hal semacam itu dapat ditemui pada wisata berlatar sejarah. Saya pribadi pernah mengikuti tur untuk melihat sejumlah karya arsitek Charles Prosper Wolff Schoemaker di kota Bandung.
Seperti dilansir laman Institut Teknologi Bandung (ITB), karya Schoemaker antara lain bangunan-bangunan yang menjadi ikon kota Bandung, seperti Gedung Asia Afrika, Villa Isola, Aula Barat – Timur ITB, Gedung PLN, Gereja Kathedral di Jln. Merdeka, Gereja Bethel di Jln. Wastukencana, Masjid Cipaganti, Bioskop Majestic, Villa Merah, dan Hotel Preanger.
Dalam kesempatan wisata sejarah berbasis arsitektur berbilang beberapa tahun lalu yang saya ikuti tersebut, para pelancong melihat langsung serta mendapatkan sejumlah penjelasan dari sejarawan mengenai Masjid Cipaganti, Villa Isola, Gedung Asia Afrika. Merupakan wisata yang unik, karena kami dapat melihat langsung, serta merasakan buah karya arsitektur dari sudut pandang sejarah dan pemanfaatan.
Napak tilas ke sejumlah karya Schoemaker menunjukkan bahwa sang arsitek berupaya memadukan unsur budaya timur dan barat dalam desainnya. Budaya timur sangat terlihat dari bentuk atap yang dominan seperti rumah-rumah tradisional Indonesia dengan kemiringan yang tinggi, serta material pada atap (sirap) dan dinding (batu bata), pada bangunan villa mrah di Jl. Tamansari.
Sedangkan pada Villa Isola dirancang Schoemaker memiliki orientasi pada Gunung Tangkuban Perahu. Schoemaker menerapkan filsafat landscape tradisional Jawa, yakni bangunan dan lingkungan memiliki orientasi kosmis ke arah sesuatu yang dianggap sakral. Gunung tersebut merupakan elemen sakral dalam kepercayaan masyarakat Sunda.