Sejarah suatu makanan menarik kiranya untuk dikulik dan diketahui. Pengetahuan kuliner bila diselami, tak sekadar tentang resep generiknya, melainkan dapat “menyelam” lebih dalam lagi. Seperti misalnya, awal semula suatu makanan “diciptakan”, pengaruh memengaruhi antara makanan yang satu dengan yang lainnya, kemiripan kuliner di daerah yang berbeda, metode memasak yang diperlukan, dan sebagainya.

Dari foodie Bondan Winarno melalui bukunya “100 Mak Nyus Makanan Tradisional Indonesia”, terdapat sejumlah “benang merah” yang sama pada pempek, gulai kepala ikan, soto tangkar. Benang merah itu yakni makanan tersebut semula diolah dari bahan yang berlebih dan sisa.
Sejarah “penciptaan” gulai kepala ikan dituturkan Bondan Winarno sebagai berikut:
Kalau mengikuti sejarah “penciptaan” gulai kepala ikan di Singapura, sebetulnya di masa lalu tidak ada masakan gulai kepala ikan. Di Singapura banyak diaspora orang-orang India yang bermukim di sana. Salah satu masakan favorit mereka adalah gulai ikan. Konon tercerita, seorang juru masak muda dan miskin yang baru datang dari Tiongkok, ngiler melihat kelezatan gulai ikan yang dijajakan di warung tetangganya. Ia pun mengumpulkan sisa-sisa kepala ikan di warung tempatnya bekerja. Setelah jam kerjanya selesai, ia pun mulai merekayasa pemasakan gulai dari kepala ikan. Ternyata ujicobanya berhasil. Ketika teman-temannya pun ternyata menyukai gulai kepala ikan kreasinya, sang koki pun berpikir untuk mencari kepala ikan berukuran besar untuk dimasak menjadi gulai dan dijual kepada pelanggannya.
Ada pun sejarah “penciptaan” pempek dinarasikan sebagai berikut:
Pempek mulai dikenal pada masa Sultan Mahmud Badaruddin II. Seorang laki-laki tua Tionghoa merasa sayang melihat ikan berlimpah hingga membusuk. Ia kemudian membuat jajanan dari ikan dicampur sagu. Dagangannya dipikul berkeliling. Pembeli memanggil: “Apek! Apek!” dari situlah nama pempek kemudian melembaga.
Sedangkan sejarah “penciptaan” soto tangkar, dapat disimak sebagai berikut: Kuliner Betawi mencerminkan sifat witty (humorously clever) masyarakat Betawi juga. Soto tangkar adalah contohnya. Tangkar adalah sisa dari karkas sapi (disebut afvaal oleh kaum Belanda) setelah dagingnya diambil. Pada saat itu, hanya orang-orang Belanda dan kaum vreemde oosterlingen (foreign easterners, yaitu: Tionghoa dan Arab) yang boleh membeli daging sapi. Masyarakat hanya kebagian sisa-sisa daging yang masih menempel di tulang belulang sapi. Tetapi, dengan kelengkapan bumbu dan keterampilan memasak yang unggul, orang-orang berduit Betawi dapat menikmati kegembiraan dengan makan soto tangkar yang lezat.