Sebuah unggahan di media sosial memperlihatkan pohon yang sama. Lalu dibuat kolase, sehingga nampak di bagian kiri pohon tersebut ketika musim gugur, di bagian kanan pohon tersebut ketika musim semi. Pohon yang sama, yang menjalani aneka musim.
Hal seperti itu amat mungkin dialami pula oleh manusia dalam kehidupannya. Terdapat berbagai “musim” yang dihadapi. Tak melulu sedih. Tak melulu gembira.
Dalam berbagai film, musim, menjadi penanda, baik babakan waktu, maupun berbagai rona perasaan yang dialami. Tone warna antarmusim pun dapat berbeda di film.
Kesadaran tentang perspektif bahwa hidup dapat berputar perlu dicamkan. Hal tersebut sebagai antisipasi, mitigasi, serta untuk bersemangat menjalani hidup. Antisipasi bila keadaan tidak baik-baik saja. Maka dalam pendekatan ekonomi, bisa dengan menyiapkan dana darurat, asuransi. Dalam perspektif sosial, antisipasi dapat dilakukan dengan berjejaring, berelasi dengan orang-orang. Sehingga tidak tergantung pada jejaring ataupun orang tertentu.
Hidup yang berputar, semoga dapat dimaknai sebagai ‘untungnya’. Seperti petikan lirik lagu Untungnya, Hidup Harus Tetap Berjalan yang dinyanyikan Bernadya:
Ada waktu-waktu
Hal buruk datang berturut-turut
Semua yang tinggal, juga yang hilang
Seberapa pun absurdnya pasti ada makna
…
Untungnya, bumi masih berputar
Untungnya, ku tak pilih menyerah
Untungnya, ku bisa rasa
Hal-hal baik yang datangnya belakangan
Mengalami berbagai “musim”, sedih-senang, hal yang tak bisa dilakukan fast forward, melainkan perlu dijalani, perlu dialami. Kiranya bagaimana respons dari mengalami itulah yang merupakan “asam garam” kehidupan.